
Forum Aksi Kolektif Pendekatan Yurisdiksional, Menjawab Tantangan Pasar Global yang Berkelanjutan
Jakarta, 29 September 2021—Forum Aksi Kolektif Yurisdiksional (Jurisdictional Collective Action Forum, disingkat JCAF, adalah sebuah inisiatif kolektif yang digagas oleh para kolaborator seperti Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Daemeter Consulting, Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang HIjau (IDH), IPMI Case Centre, Landscape Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Indonesian Philanthropy Association (PFI), Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAGRO), Proforest, and Tropical Forest Alliance (TFA). Forum ini dibentuk untuk menyediakan sebuah ekosistem yang terbuka dan aman bagi semua pihak untuk mampu berkontribusi secara aktif. Selain itu, forum juga memberikan kesempatan yang sama untuk memampukan para kolaborator dalam mengidentifikasi tantangan, kesempatan, dan prioritas yurisdiksional dengan solusi yang bisa diukur. Pendekatan yang diterapkan JFAC adalah efektivitas penganggaran dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang lebih luas, membuka kesempatan investasi, dan upaya publikasi yang berdasar pada bukti.
Salah satu kegiatan rutin yang dilaksanakan adalah dialog atau diskusi yang selama pandemi ini diselenggarakan secara daring. Dan dalam kegiatan yang diberi judul Dialogue #2: The Post-2021 UN Food Systems Summit (UNFSS): an Indonesia Perspective menitik beratkan fokus dialog pada dua sesi berbeda. Sesi pertama yang melihat bagaimana pendekatan yurisdiksional ini dalam sistem pangan menghadirkan Anang Noegroho selaku Direktur Pangan dan Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, dan Handewi Saliem sebagai Komite Indonesia di UNFSS, Kementerian Pertanian. Sesi pertama ini juga dimoderasi oleh Agus Loekman dari IPMI Case Center.
Dan sesi kedua diisi oleh Helianti Hilman sebagai pendiri dan Direktur Eksekutif Javara, dan Wahyu Wibowo, Direktur Eksekutif CSP. Sebagai moderator, Insan Syafaat dari PISAgro ditunjuk oleh penyelenggara. Sesi kedua ini mengambil tema bagaimana peranan pendekatan yurisdiksional dalam perkembangan pasar dan perdagangan internasional komoditas yang berkelanjutan.
Dalam paparan pembukanya, Prof. Arif Satria, Rektor IPB, menyampaikan bahwa tingkat deforestasi tahunan di Indonesia telah mengalami penurunan sejak dekade terakhir ini. Dan ini membuktikan tentang strategi pengelolaan yang lebih baik dan kebijakan yang memampukan, termasuk praktik tata kelola hutan. “Jalan menuju komitmen tanpa deforestasi sebelum 2030 akan menjadi tidak mudah karena konflik kepentingan antara upaya melindungi lingkungan dan menciptakan pertumbuhan perekonomian. Namun berdasar pada model proyeksi deforestasi yang ada, tata kelola hutan yang lebih baik akan mengurangi laju deforestasi,” kata Prof. Arif Satria.
Guna memberikan penjelasan tentang dasar visi dalam praktik peningkatan persaingan regional melalui pendekatan yurisdiksional, Prof. Aman Wirakartakusumah, Direktur Eksekutif Sekolah Bisnis Internasional IPMI, menyampaikan presentasi yang berjudul "Dekade Aksi Kolektif untuk Masa Depan yang Berkelanjutan: Transformasi Sistem Pangan, Inisiatif dan Strategi Global untuk Indonesia.” Dalam presentasinya tersebut, Prof. Aman Wirakartakusumah menyebutkan bahwa komitmen perekonomian dan politik jangka panjang dan pengukuran keberhasilan atau kesempatan dalam melakukan transformasi sistem pangan adalah sebuah proses tarik ulur bagi sebagian besar pemerintahan negara yang harus dihadapi dalam keseharian, dan juga bisa menjadi sebuah pertarungan dalam melakukan rekonsiliasi dalam sistem pangan dewasa ini. Disampaikan juga bahwa memastikan kehidupan manusia yang hidup berdampingan dengan lingkungan dan kesejahteraan secara harmonis, sementera di sisi lain mengupayakan perbaikian yang inklusif, transformatif, dan adil untuk agenda 2030 tidak akan mungkin bisa dicapai dalam jangka waktu dekat. “Pendekatan yurisdiksional adalah sebuah inspirasi dalam menyelesaikan persoalan seperti ini, dan pertukarannya adalah untuk melingkupi sinergi kepentingan tersebut. Pendekatan ini pula memastikan jalan kita sebagai sebuah bangsa, atau masyarakat internasional, menuju kesejahteraan yang berkelanjutan akan lebih terjamin,” tambahnya.
Dalam paparan plenari untuk melihat tren permintaanpasar global dewasa ini yang memacu para pemangku kepentingan di berbagai sektor untuk meningkatkan kapasitasnya dan mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan, Indrasari Wisnu Wardhana, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan menyampaikan presentasi tentang “Pertumbuhan Pasar dan Perdagangan Internasional untuk Komoditas yang Berkelanjutan.” Ia juga menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dan mengeluarkan sebuah rencana aksi terhadap sektor dan komoditas prioritas dan mengintegrasikannya dalam perencanaan kebijakan sebagai respon atas permintaan pasar dari konsumen dan investor global produk-produk berkelanjutan, dan sebagai upaya mitigasi risiko perubahan iklim. “Pihak industri harus mengimplementasikan prinsip-prinsip keberlanjutan sebagai proposisi nilai unik mereka agar bisa menjadi lebih bersaing dalam pasar internasional. Indonesia telah menjadi negara yang memiliki praktik-praktik yang baik seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, dan kesempatan emisi karbon mendatang bagi komoditas ekspor alternatif baru di Indonesia,” ungkapnya. Ditambahkan juga bahwa komoditas ekspor prioritas seperti minyak sawit, rempah-rempah, kakao, kopi, kelapa, karet, dan kayu adalah fokus akselarasi pemerintha menuju komoditas yang berkelanjutan.
Dalam sesi panel pertama yang mengambil topik tentang bagaimana menerapkan pendekatan yurisdiktional dalam sistem pangan yang berkelanjutan, Anang Nugroho, Direktur Pangan dan Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas menyampaikan paparan yang berjudul “Model Sistem Pangan Berkelanjutan: Perspektif Indonesia.” Ia mempresentasikan bagaimana komitmen Indonesia dalam melakukan transformasi sistem pangan yang ada. “Pendekatan yurisdiktional memberikan pendekatan alternatif terhadap sistem pangan lokal dan berkelanjutan yang mengintegrasikan SDG 2030 di tingkat daerah terhadap konsumsi yang berkelanjutan dan sistem pangan nasional, dan priotitas dalam RPJMN 2020-2024. Pada tahun 2020, Bappenas telah menganggarkan lebih dari 20 juta dollar untuk mendukung tingkat pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program-program yang berkaitan dengan ketahanan pangan,” tambahnya.
Dukungan tersebut juga akan berlanjut setiap tahunnya dan akan direncakan sebagai bentuk insentif ketahanan pangan dengan mendukung sumber daya pemerintah nasional. Sejak 2021 pula, Bappenas telah menginisiasi sebuah wadah dialog partisipatif dan kolaboratif yang diberi nama TERPERCAYA guna menyelaraskan indikator daerah dan nasional dalam membangun indikator berbasis data yang saat ini telah diujicobakan di tiga kabupaten.
Prof. Handewi P. Saliem sebagai perwakilan dari Komite Indonesia di UNFSS, Kementerian Pertanian menyampaikan paparan tentang aksi PBB dalam upaya pengurangan kelaparan dan kekurangan gizi dan implikasinya terhadap Indonesia. Ia menjelaskan tentang indikasi perubahan paradigma pengembangan pangan di Indonesia dalam RPJMN 2020-2024 menuju orientasi swasembada, ketahanan pangan, dan pangan berkualitas. “Sistem pangan yang aman dan berkelanjutan bagi sebuah negara berkaitan dengan keberlanjutan, ketersediaan, kualitas, keamanan produksi pangan domestik, korporasi petani, industrialisasi pangan lokal, dan stabilitas akses pangan. Peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas pangan, dan efisiensi distribusinya, dan bagi rumah tangga rentan. Dan untuk memastikan ketahanan pangan ini, Kementerian Pertanian telah mengembangkan 5 Program Aksi yang diselaraskan dengan 5 Jalur Aksi UNFSS,” kata Prof. Handewi.
Wahyu Wibowo, Direktur Eksekutif CSP, membuka sesi panel kedua dengan topik pertumbuhan pasar dan perdagangan internasional untuk komoditas yang berkelanjutan. Presentasinya tentang peranan asosiasi dalam peningkatan pertumbuhan tren komoditas yang berkelanjutan dengan menggunakan kacamata perspektif kemitraan menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi produsen kakao berkelanjutan pertama di dunia. Produk-produk olahan kakao Indonesia, seperti lemak dan bubuk, adalah bahan baku yang krusial bagi sektor industri yang berkelanjutan, dan 60% produksi dalam negeri diekpor ke pasar Uni Eropa seperti Belgia, Jerman, Belanda, dan Swiss, dan diupayakan untuk berkelanjutan di tahun 2025. “CSP mendukung produktivitas petani kakao rakyat yang berkelanjutan dengan melakukan pemetaan sekitar 200.000 hektar lahan dalam wilayah pengembangan kakao (di sekitar wilayah Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah), dan secara aktif terlibat dengan para mitra dalam sebuah forum antar pemangku kepentingan di Aceh, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah, dan mengembangkan sebuah peta jalan dan memfasilitasi ketersediaan dan berbagi data dalam pusat data CSP,” tambahnya.
Helianti Hilman, CEO Javara (PT Kampung Kearifan Indonesia) menyampaikan presentasi tentang upaya perluasan akses dalam menciptakan keanekaragaman pangan ke pasar internasional, dan mobilisasi partisipasi pasar melalui konsumsi yang berkelanjutan. Javara yang didirikan pada tahun 2008 dengan misi untuk menjaga dan memproduksi pangan berkualitas tinggi dari warisan pangan lokal. Dalam semangat pencapaian produksi yang berkelanjutan melalui produksi lokal, Javara memandang kebutuhan yang mendesak melalui model bisnis yang terintegrasi dan inklusif, inovasi produk, kualitas, dan standar keamanan yang melingkupi rantai pasokan dengan penciptaan kepercayaan dan narasi yang kuat di pasar. Oleh karenanya, dengan meningkatkan kualitas panen petani dengan dukungan teknis dan wirausaha lokal adalah hal krusial guna memastikan bahwa produk tersebut memenuhi permintaan pasar global. Pihak konsumen memainkan peran vital dalam memahami produksi yang berkelanjutan di negara-negara produsen dan mereka harus diadvokasi tentang isu pasokan yang bertanggung jawab dengan beragam kanal, baik di Indonesia maupun di luar negeri, begitu juga halnya dengan toko modern dan daring. “Dewasa ini, ada sekitar 900 produk yang dihasilkan dari lansekap perdesaan di Indonesia, dan lebih dari 200 telah memperoleh sertifikat produk organik dan diekspor ke Amerika, Eropa, Jepang, dan 33 negara lainnya di lima benua. Dengan mempromosikan bahan pangan lokal ke pasar internasional, perusahaan telah mengembangkan rantai pasoknya di 25 wilayah di Indonesia,” jelasnya.
Di presentasi berikutnya, Andi Fitriani, Manajer Komunikasi, Mars Indonesia, menyampaikan perspektif sektor industri dalam implementasi aturan keberlanjutan pasar internasional terhadap produksi yang berkelanjutan di wilayah pemerolehan komoditas. Sebagai perusahaan produk konsumen global, Mars secara berkesinambungan melakukan perubahan menuju bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan guna mencapai tujuan Forest Positive dan SDG. Perusahaan ini pula mengembangkan sebuah strategi pemerolehan bahan baku melalui Responsible Cocoa Today dan Sustainable Cocoa Tomorrow. Pada tahun 2017, MARS meluncurkan sebuah pedoman berbasis keilmuan dengan menitik beratkan pada nilai penting planet yang sehat, perkembangan dan kesejahteraan manusia. “Mars mengembangkan persyaratan sertifikasi dengan berkolaborasi dengan Rainforest Alliance dan Fair Trade dan berfokus pada pemberdayaan petani kakao rakyat, perlindungan anak, dan perlindungan dan konservasi kawasan hutan. Strategi ini kemudian diintegrasikan dalam Prinsip Mars,” tambah Andi Fitriani.
Dan dalam paparan penutupnya, Agus Sari, CEO Landscape Indonesia mempertegas bahwa upaya holistik dibutuhkan dalam memenuhi agenda perubahan iklim di bawah 1,5 derajat. Sektor pangan dan berbasis lahan berkontribusi sekitar 10% krisis iklim yang berhubungan dengan deforestasi. Permasalahan structural yang masih menantang adalah produktivitas petani rakyat, efisiensi, distribusi, dan perekonomian—termasuk kebijakan fiscal produksi dan konsumsi pangan, dan keseluruhan institusi dan isu tata kelola, demikian pula standar sektoral keberlanjutan dalam sektor pangan. “Oleh karenanya, inovasi menjadi hal penting untuk mendukung pertumbuhan perekonomian, ketahanan pangan, dan pengurangan pengaruh perubahan iklim. Dan pendekatan yurisdiksional sudah terbukti lebih efisien dan sebagai sebuah kesempatan untuk mengatasi perangkap yang berhubungan dengan konsesi dan pendekatan spesifik tempat, pendekatan rantai pasok, dan pendekatan spesifik komoditas untuk melihat beberapa hal positif seperti Kesejahteraan Hijau,” tutupnya.
JCAF ini bertujuan untuk mengembangkan pembelajaran dari perspektif antar pemangku kepentingan dalam mempromosikan aksi kolektif, memperkuat lingkungan yang memampukan, dan mempercepat investasi dalam yurisdiksi. Dan juga pemaparan tantangan dan kesempatan dalam memperkuat pendekatan antar pemangku kepentingan, mengidentifikasi pendekatan umum, dan membagi praktik-praktik terbaik. Demikian halnya juga dengan mengidentifikasi, mendemonstrasikan, dan mengembangkan bisnis berbasis fakta dan praktik investasi dari aksi kolektif yang ada, tata kelola yang baik, kepemimpinan, dan investasi guna mempercepat keberlanjutan yurisdiksi.
Dengan serangkaian dialog ini, JCAF akan menciptakan
pemahaman yang lebih luas tentang strategi dan pendekatan umum yang
lebih luas dan akan memampukan para pemangku kepentingan untuk belajar,
mengalami, dan secara bersama mengembangkan contoh kasus yang berbasis
fakta. Keberhasilan dalam mengidentifikasi jarak dan harmonisasi
kebijakan dan regulasi yang akan membutuhkan kolaborasi para pemangku
kepentingan untuk secara bersama-sama pula mengembangkan kebijakan dan
rekomendasi yang holistik. Dialog ini diupayakan untuk menawarkan sebuah
model yang diciptakan bersama, kolaboratif, dan memobilisasi aksi
kolektif ke arah solusi yang lebih bertahan lama dan memberikan solusi
isu keberlanjutan yang kritis pada skala yang berarti dan tepat, dan
pada saat yang bersamaan pula secara bersama mengupayakan kesejahteraan
hijau di tingkat yurisdiksi dan berkontribusi pada strategi nasional
Pembangunan Rendah Karbon dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. (CSP/AH)